Sabtu, 27 Juni 2009

ANALISIS PELAKSANAAN STRATEGI DOTS DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU PADA PUSKESMAS DI WILAYAH KABUPATEN BENGKAYANG KALIMANTAN BARAT

ANALISIS PELAKSANAAN STRATEGI DOTS DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU PADA PUSKESMAS DI WILAYAH KABUPATEN BENGKAYANG KALIMANTAN BARAT

THE IMPLEMENTATION ANALYSIS OF DOTS STRATEGY
AS THE TUBERCULOSIS ERADICATION AT THE COMMUNITY HEALTH CENTRE OF BENGKAYANG REGENCY
WEST BORNEO, INDONESIA


I’in Syami’ons¹, Tri Prabowo², Haryani²


ABSTRACT

Background: in Indonesia, tuberculosis still become the major problem of public health and it is the main cause of death in infection disease. The DOTS strategy as the tuberculosis eradication program with antituberculosis drug combination short-course and observed to each the patiens. By the data obtained from Health Departement of Bengkayang Regency for october until december 2005, there were 90 patient pulmonary tuberculosis. The patient with of death were 2 patient and 7 patient drop-out. Cure rate in 2005 years only 51,5%, but the minimum recovery target was 85%. The purposes of the research is to figure out the description of the implementation DOTS strategy as the tuberculosis eradication at the community health centre of Bengkayang Regency, West Borneo, Indonesia.

Methods: This research was objective quantitative-qualitative combination use the descriptive method with the cross sectional approach. Subyects of research were 33 manager staff of P2TB Program at 11 community health center of Bengkayang regency. The data gathering technique use the questionnaire, observation and deep interview.

Results: The description DOTS strategy implementation in tuberculosis eradication program mean was 91,16%, with following each percentage of component strategy: Political component from decisions maker was 93,94%; Cure implementation with short term OAT combination with direct observation by PMO was 90,91%; Continuing implementation of short term OAT supply for patiens was 89,09%; and for strict recording and reporting was 90,00%.

Conclusion: The description DOTS Strategy implementation in tuberculosis eradication at community health center of Bengkayang Regency general had done with goodness according to National TB Eradication Procedure.

Key Word: The Eradication TB Program, DOTS Strategy.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
¹ Nursing Academy of Serukam, West Borneo.
² Nursing Program, Medical School of GMU Yogyakarta




ANALISIS PELAKSANAAN STRATEGI DOTS DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU PADA PUSKESMAS DI WILAYAH KABUPATEN BENGKAYANG, KALIMANTAN BARAT

I’in Syami’ons¹, Tri Prabowo², Haryani²

INTISARI

Latar Belakang: Di Indonesia, penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Strategi DOTS merupakan kegiatan penanggulangan TB dengan paduan OAT jangka pendek disertai pengawasan terhadap kepatuhan minum obat. Data Dinkes. Kabupaten Bengkayang pada triwulan IV tahun 2005, terdapat 90 penderita TB, dari jumlah tersebut 2 orang meninggal dunia serta 7 orang mengalami DO. Angka Kesembuhan (Cure Rate) tahun 2005 hanya 51,5%, sedangkan target minimal yang harus dicapai adalah 85%. Tujuan penelitian: memperoleh gambaran pelaksanaan strategi DOTS dalam Program P2TB di puskesmas wilayah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Metode: Penelitian kuantitatif dikombinasikan dengan kualitatif menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang bersifat evaluatif. Subyek penelitian adalah 33 pengelola program P2TB di 11 puskesmas wilayah Kabupaten Bengkayang. Tehnik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi sistematis dan wawancara mendalam.

Hasil: Gambaran pelaksanaan strategi DOTS dalam Program P2TB rata-rata mencapai 91,16%, dengan prosentase masing-masing sub variabel sebagai berikut: Komitment politis dari para pengambil keputusan mencapai 93,94%; Pelaksanaan diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis mencapai 93,18%; Pelaksanaan pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO mencapai 90,91%; Pelaksanaan kesinambungan persediaan OAT jangka pendek bagi penderita mencapai 89,09%; dan untuk pelaksanaan pencatatan dan pelaporan secara baku mencapai 90,00%.

Kesimpulan: Gambaran pelaksanaan Strategi DOTS dalam Penanggulangan TB paru di puskesmas wilayah Kabupaten Bengkayang secara umum dilaksanakan dengan baik sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

Kata Kunci: Program Penanggulangan TB, Strategi DOTS.

¹ Akper Bethesda Serukam, Kalimantan Barat,
² Program studi Ilmu Keperawatan, FK UGM Yogyakarta.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA ANAK YANG BERKUNJUNG DI POLI IMUNISASI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI DINI PADA ANAK YANG BERKUNJUNG DI POLI IMUNISASI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK `AISYIYAH SAMARINDA

FACTORS’ INFLUENCING SUPPLIED EARLY REPLACEMENT FOOD -BREAST FEEDING TO INFANTS IN POLY IMMUNISATION AT MOTHER AND CHILD HOSPITAL SAMARINDA

Wahyu Widiyati1, Sri Hartini2, Widyawati2

ABSTRACT

Introduction: Replacement Food Breast Feeding (RF-BF) are all foods that are given to infants except breast feeding or formulated milk as a supplement. The benefits, eminent and breast feeding supports from government about the RF-BF, very regrettably the breastfeeding exclusively in Indonesia has experiencing degradatione. Factors’ that influence are so complex, like career, mother`s education, socialculture and intensively advertisement of formulated milk.

Objective : To get an overview of factors affecting mother given RF-BF to infants in poly imunisation and to gwt an overview of the dominant factor that affecting the supply of RF-BF.
Methods : The study used a descriptive analityc with cross sectional design with a quantitative method. Samples used purposive sampling with as many as 88 people. Data were collected with questionnaire which consist of demography data and close ended structure questions. This research begin at September to October 2006 in poly imunisation of Mother and child Hospital Aisyiyah Samarinda.
Result: The result of the study showed that 88 mothers as respondent, factor career (67%), factor psychological disorder (65.9%), next, factor formulated milk promotion (70.5%) and factor knowledge, many of the respondent (52.3%) within adequate. Factors of RF-BF showed majority of the respondent given early RF-BF to infants (77.3%).

Conclusion: Based on the results of the study, a factor which is the dominant influencing the supply of RF-BF to the infants in poly imunisation of Mother and child Hospital Aisyiyah Samarinda is formulated milk promotion.


Key words: RF-BF, Infants, Poly immunisation

1 The student of Nursing education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University
2 Nursing education program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University



FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN MP-ASI PADA ANAK YANG BERKUNJUNG DI POLI IMUNISASI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK `AISYIYAH SAMARINDA


Wahyu Widiyati1, Sri Hartini2, Widyawati2

INTISARI


Pendahuluan: Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah semua makanan yang diberikan pada bayi selain ASI atau susu botol sebagai penambah kekurangan dari ASI atau susu Pengganti ASI (PASI). Melihat manfaat dan keunggulan ASI serta didukung oleh kebijakan pemerintah tentang Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) maka sangat disayangkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia menurun. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku menyusui sangat kompleks seperti pendidikan ibu, ketidakhadiran ibu di rumah karena bekerja, sosial budaya dan iklan susu formula yang gencar.
Tujuan: Untuk mengetahui faktor–faktor yang mempengaruhi pemberian MP-ASI Dini pada anak yang berkunjung di poli Imunisasi dan mengetahui faktor paling dominan yang mempengaruhi pemberian MP-ASI Dini.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional menggunakan metode kuantitatif. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah 88 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar kuesioner yang terdiri dari data demografi dan pertanyaan disusun secara terstruktur dalam bentuk pertanyaan tertutup. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan september sampai dengan oktober 2006 di poli imunisasi rumah Sakit Ibu dan Anak Aisyiyah Samarinda.
Hasil penelitian: Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 88 responden, faktor bekerja dengan pengaruh (67,0%), gangguan psikologis dengan prosentase 58 (65,9%), faktor promosi susu formula dengan pengaruh (70,5%), faktor tingkat pengetahuan, (52,3%) tingkat pendidikannya dalam katagori baik. Dilihat dari MP-ASI, mayoritas responden menyatakan memberikan MP-ASI dini kepada anaknya dengan prosentase 77,3%.

Kesimpulan: Dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling mempengaruhi pemberian MP-ASI dini pada anak-anak yang berkunjung di Poli Imunisasi Rumah Sakit Ibu dan Anak ‘Aisyiyah Samarinda adalah promosi susu formula.


Kata kunci : Makanan Pendamping-ASI, Anak, Poli Imunisasi

HUBUNGAN SUMBER BIAYA DAN PEMILIHAN KELAS PERAWATAN DENGAN KUALITAS PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP

RELATED BETWEEN SOURCE OF BUDGET AND ELECTION OF CLASS TREATMENT WITH QUALITY OF NURSING SERVICE AT AM. PARIKESIT HOSPITAL TENGGARONG EAST KALIMANTAN

Ferdy Hamdani1, Widyawati2, Heru Subekti2


ABSTRACT

Background: The measurement quality of nursing service with three dimensional aech of patient dimension, profession dimension and process dimension. This research, quality of nursing service will measure and will be related with source of budget and election of treatment class. Measurement of quality nursing service will measure of patient dimension with indicator tangibles, reliability, responsivness, assurance and emphaty
Objective: To get a related between source of budget and election of treatment class with quality of nursing service at AM. Parikesit Hospital Tenggarong East Kalimantan.

Method: The study use d a descriptive design with cross sectional approach with quantitative research type. Sampel use purposive sampling with as many as 61 people. Data were collected with closed structure questionare and grouped in demography data, source of budget, election of treatment class and measurement of quality of nursing service with five indicator measure tangibles, reliability, responsivness, assurance and emphaty.

Result: The result of study showed quality of nursing service AM. Parikesit Hospital Tenggarong East Kalimantan is very good (0,0%), good enough (32,8%), inadequatte ( 62,8%) and bad (3,8%). indicator of Tangibles with score very good (0,0%), good enough ( 18,0 is%), inadequatte( 77,0%) and bad (4,9%). Indicator of Reliability with score very good (0,0%), good enough (44,0%), inadequattee (54,1%) and bad ( 1,6%). indicator of Responsiveness with score very good ( 0,0 is%), good enough ( 72,1 is%), unfavourable ( 27,9%) and is bad ( 0,0%). indicator of Assurance with score very good ( 0,0 is%), good enough ( 42,6 is%), unfavourable ( 54,1%) and is bad ( 3,3%). indicator of Emphaty with score very good ( 0,0 is%), good enough ( 34,4 is%), unfavourable ( 45,9%) and is bad ( 19,7%). There is a difference which significan of[ quality nursing service evaluated from source of the budget in AM. Parikesit Hospital Tenggarong East Kalimantan with analysis of varians 1 band equal to 4,012 with signifikansi less than 5%. There is a difference significant of quality nursing service from election of treatment class in .AM. Parikesit Hospital Tenggarong East Kalimantan at with analysis of varians 1 band equal to 9,541 with signifikansi less than 5%.

Conclusion: Based on the result of the study, majority respondent expressing the quality of nursing service at AM. Parikesit Hospital Tenggarong East Kalimantan in inadequatte category with frequency 62,3% and found a difference significant quality of nursing service given treatment if evaluated from source of budget and election of treatment class.

Keyword: source of budget, election of treatment class, quality of nursing service



HUBUNGAN SUMBER BIAYA DAN PEMILIHAN KELAS PERAWATAN DENGAN KUALITAS PELAYANAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM AM. PARIKESIT
TENGGARONG KALIMANTAN TIMUR


Ferdy Hamdani1, Widyawati2, Heru Subekti2


INTISARI

Latar belakang: Pengukuran kualitas pelayanan keperawatan dapat di ukur dengan tiga dimensi yakni dimensi pasien, dimensi profesi dan dimensi proses. Pada penelitian ini, kualitas pelayanan keperawatan di ukur dan dihubungkan dengan sumber biaya dan pemilihan kelas perawatan. Pengukuran kualitas di ukur dari dimensi pasien dengan indikator yang di ukur meliputi tangibles, reliability, responsivness, assurance dan emphaty

Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui hubungan sumber biaya dan pemilihan kelas perawatan dengan kualitas pelayanan keperawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah AM. Parikesit Tenggarong Kalimantan Timur.
Metode: Jenis penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriftif analitik, pendekatan cross sectional dengan jenis penelitian kuantitatif. Untuk pengambilan sampel data kuantitatif dengan purposive sampling, dengan responden sebanyak 61 responden. Instrumen untuk pengambilan data digunakan kuesioner terstruktur dengan bentuk pertanyaan tertutup yang dikelompokkan dalam data demografi, sumber biaya, pemilihan kelas perawatan dan hasil pengukuran kualitas pelayanan keperawatan dengan lima indikator yang di ukur meliputi tangibles, reliability, responsivness, assurance dan emphaty.

Hasil: Penilaian responden terhadap kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit Umum AM. Parikesit Tenggarong Kalimantan Timur secara umum adalah sangat baik (0,0%) dan kurang baik (62,8%). Indikator tangibles dengan skor kurang baik (77,0%). Indikator reliability dengan skor cukup baik (44,0%) dan kurang baik (54,1%). Indikator responsiveness dengan skor cukup baik (72,1%) dan tidak baik (0,0%). Indikator assurance dengan skor cukup baik (42,6%) dan kurang baik (54,1%). Indikator emphaty dengan skor cukup baik (34,4%), kurang baik (45,9%) dan tidak baik (19,7%). Ada hubungan yang signifikan antara sumber biaya dan pemilihan kelas perawatan dengan kualitas pelayanan keperawatan.
Kesimpulan: Mayoritas responden menyatakan kualitas perawatan di RSUD AM. Parikesit Tenggarong Kalimantan Timur berada pada kategori kurang baik dengan frekuensi sebesar 62,3% dan ada hubungan yang signifikan tingkat kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan jika ditinjau dari sumber biaya dan pemillihan kelas perawatan.

Kata kunci: sumber biaya, pemilihan kelas perawatan, kualitas pelayanan keperawatan.


1 Staf Politeknik Kesehatan Samarinda Jurusan Keperawatan
2 Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT

THE CORRELATION OF EMOTIONAL INTELLIGENCE TO THE
WORK STRESS LEVEL OF NURSE AT EMERGENCY WARD,
Dr. SOERADJI TIRTONEGORO HOSPITAL, KLATEN

Anastasia S K¹, Mariyono SW², Syahirul A²

ABSTRACT

Background: A nurse who work at emergency ward is very susceptible with distress. Work stress which is faced by the nurse will very influence the quality of nursing care to the patient. The nurse needs emotional intelligence for arranging mind ambience, managing stress, holding out in the frustration, and controlling mind desire (happiness, sadness, and anger).
Objectives: The study was aimed to identify the correlation of emotional intelligence and work stress level of nurse at emergency ward, Dr. Soeradji Tirtonegoro Hospital, Klaten.

Methods: The study was of descriptive analytic correlation by means of quantitative framework employing a cross sectional method. Data of respondents’ emotional intelligence level and work stress level was gathered through questionnaires. The number of research subjects involved in this study was all 25 nurse practitioners of emergency ward who met the criteria of: not on leave nor assigned for higher education, available becoming respondent, and not as a leader room. This study was done within July 29 2006 - August 9 2006.
Results: The average level of nurses’ emotional intelligence was an medium category 20 (80%) respondents, and the average level of nurses’ work stress was an medium category 19 (76%) respondents. Hypothesis test was using Product Moment correlation from Pearson at a significance level of 95% or α=0,05. The calculation resulted r=-0,465 and p=0,019.

Conclusion: There was a significant and negative correlation of emotional intelligence level to the work stress level.

Key words: work stress, emotional intelligence, emergency ward


HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN TINGKAT
STRES KERJA PERAWAT DI INSTALASI RAWAT DARURAT
RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN


Anastasia S K¹, Mariyono SW², Syahirul A²

INTISARI

Latar Belakang: Perawat yang bekerja di Instalasi Rawat Darurat sangat rentan terhadap distress. Stres kerja yang dihadapi oleh perawat akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Seorang perawat membutuhkan kecerdasan emosional untuk mengatur suasana hati dan mengendalikan stres, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, dan kemarahan).

Tujuan penelitian: Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres kerja perawat di Instalasi Rawat Darurat RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik korelasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional. Data tingkat kecerdasan emosional dan tingkat stres kerja responden dikumpulkan dengan kuesioner. Subyek penelitian berjumlah 25 orang perawat Instalasi Rawat Darurat dengan kriteria: tidak sedang dalam masa cuti atau mendapat tugas belajar, bersedia menjadi responden, dan bukan kepala ruang. Penelitian dilakukan mulai tanggal 29 Juli 2006 sampai 9 Agustus 2006.
Hasil Penelitian: Rata-rata tingkat kecerdasan emosional perawat dalam kategori sedang 20 (80%) responden, dan rata-rata tingkat stres kerja dalam kategori sedang 19 (76%) responden. Uji hipotesis menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson dengan tingkat kepercayaan 95% atau α = 0,05. Hasil perhitungan didapatkan r = -0,465 dan p = 0,019.

Kesimpulan: Ada hubungan yang negatif dan bermakna antara tingkat kecerdasan emosional dengan tingkat stres kerja perawat di Instalasi Rawat Darurat RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Kata kunci: Stres kerja, kecerdasan emosional, Instalasi Rawat Darurat.

POLA ASUH ORANG TUA

RIWAYAT POLA ASUH ORANG TUA PADA KLIEN GANGGUAN JIWA YANG MUNCUL PADA USIA REMAJA DI RSJD Dr. RM. SOEDJARWADI KLATEN

OVERVIEW OF PARENTS' REARING PATTERN TO MENTALLY DISORDERED TEENAGE CLIENTS
AT Dr. RM SOEDJARWADI MENTAL HOSPITAL, KLATEN

Suwanto1, Mariyono Sedoyo Winarso2, Sumarni3

ABSTRACT

Background: Teenage period is a period which is prone to stress; meanwhile teenagers are successive generation of the nation who will be leaders of the future. Parents' rearing pattern contributes to the formation of someone's personality, strong or weak, and affect someone's mentality in facing stressor.

Objective: To get an overview of parents' rearing pattern to mentally disordered teenage clients at Dr. RM. Soedjarwadi Mental Hospital, Klaten.

Method: The study was descriptive explorative non experimental which used quantitative approach. Data about rearing pattern of the respondent were obtained from questionnaire of Child Rearing Pattern Scale according to Yuniarti (1988). There were 31 clients who had mental disorder during teenage period (11 – 24 years of age) and were hospitalized at Dr. RM. Sodjarwadi Mental Hospital, Klaten with criteria non organic mental disorder / mental retardation, in improved health condition, able to read and write. The study was carried out from 16th November until 15th December 2006.

Result: As much as 74.2% of respondents belonged to type VI rearing pattern (undistinguishable rearing pattern); 25.8% type III (democratic); 0% type I (authoritarian based on refusal); type II (authoritarian based on acceptance) or type V (permissive based on refusal).

Conclusion: In average the clients who had mental disorder during teenage period (11 – 24 years of age) had type VI rearing pattern (undistinguishable).

Keywords: rearing pattern, mental disorder, teenage clients

1. Dr. RM. Soedjarwadi Mental Hospital, Klaten
2. Nursing Education Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University
3. Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University




RIWAYAT POLA ASUH ORANG TUA PADA KLIEN
GANGGUAN JIWA YANG MUNCUL PADA USIA REMAJA
DI RSJD Dr.RM SOEDJARWADI KLATEN


Suwanto1 Mariyono SW.2 Sumarni P3

INTI SARI

Latar Belakang : Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap stres, padahal disisi lain remaja merupakan generasi penerus bangsa, calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa yang akan datang. Pola asuh orang tua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah akan menjadi seorang yang yang memiliki kepribadian yang kokoh atau rapuh sehingga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor.

Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui gambaran riwayat pola asuh orang tua pada klien gangguan jiwa yang muncul pada usia remaja (11-24 tahun) di RSJD Dr.RM Soejarwadi Klaten.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dalam bentuk deskriptif eksploratif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Data tentang riwayat pola asuh responden dikumpulkan dengan kuisioner Skala Pola Asuh Anak menurut Yuniarti (1988). Subyek penelitian berjumlah 31 orang yaitu klien gangguan jiwa yang muncul pertama kali pada usia remaja (11-24 tahun) yang sedang rawat inap di RSJD Dr. RM Soedjarwadi Klaten. Dengan kriteria : bukan gangguan mental organik / retardasi mental, dalam kondisi peningkatan kesehatan, bisa membaca dan menulis. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 16 November sampai dengan 15 Desember 2006.

Hasil Penelitian : Sebanyak 74,2% responden diasuh dengan riwayat pola asuh tipe VI (pola asuh yang tidak terbedakan). Pola asuh tipe III (demokratis) sebesar 25,8%. Sedangkan pola asuh Tipe II (otoriter berdasarkan penolakan), tipe IV (permisif berdasarkan penerimaan) dan Pola asuh tipe V (permisif berdasarkan penolakan) sebesar 0%.

Kesimpulan : Rata-rata klien gangguan jiwa yang muncul pada usia remaja (11-24 tahun) diasuh dengan riwayat pola asuh tipe VI (pola asuh tidak terbedakan) pada masa kecil mereka.

Kata Kunci : Pola asuh orang tua, remaja, gangguan jiwa


1) RSJD Dr. RM Soedjarwadi Klaten
2) Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3) Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Rabu, 17 Juni 2009

FARMAKOTERAPI SKIZOFRENIA

PENDAHULUAN
Skizofrenia merupakan bentuk gangguan jiwa psikosis fungsional paling berat, dan lazim yang menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa menimbulkan serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. Keadaan ini pertama kali digambarkan oleh Kraepelin pada tahun 1896 berdasarkan gejala dan riwayat alamiahnya. Kraepelin menamakannya dementia prekoks. Pada tahun 1911, Bleuler menciptakan nama skizofrenia untuk menandai putusnya fungsi psikis, yang menentukan sifat penyakit ini. Secara garis besar skizofrenia dapat digolongkan kepada beberapa tipe yaitu, skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks, skizofrenia yang lain-lain dan skizofrenia yang tak tergolongkan.
Unsur patogenesis skizofrenia belum dapat diketahui . Dugaan adanya unsur genetik telah dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi gangguan psikosis, sebagian besar karena hasil penelitian yang distimulasi oleh ditemukannya obat-obat antipsikosis. Pada tingkat tertentu, asumsi ini banyak didukung dengan ditemukannya kasus-kasus skizofrenia yang disebabkan oleh keturunan. Pembuktian yang actual tentang adanya keterkaitan kromosom dengan menggunakan teknik genetik molekuler sulit dilakukan secara pasti, baik karena kejadian yang spesifik tidak dapat disamakan maupun karena adanya banyak gen yang terlibat di dalamnya.

HIPOTESIS DOPAMINE
Hipotesis dopamine pada skizofrenia adalah yang paling berkembang dari berbagai hipotesis, dan merupakan dasar dari banyak terapi obat yang rasional. Beberapa bukti yang terkait menunjukkan bahwa aktifitas dopaminergik yang berlebihan dapat mempengaruhi penyakit tersebut : (1) kebanyakan obat-obat antipsikosis menyakat reseptor D2 pascasinaps di dalam sistem saraf pusat, terutama di sistem mesolimbik frontal; (2) obat-obat yang meningkatkan aktifitas dopaminergik, seperti levodopa (suatu precursor), amphetamine (perilis dopamine), atau apomorphine (suatu agonis reseptor dopamine langsung), dapat mengakibatkan skizofrenia atau psikosis pada beberapa pasien; (3) densitas reseptor dopamine telah terbukti, postmortem, meningkat diotak pasien skizofrenia yang belum pernah dirawat dengan obat-obat antipsikosis; (4) positron emission tomography (PET) menunjukkan peningkatan densitas reseptor dopamine pada pasien skizofrenia yang dirawat atau yang tidak dirawat, saat dibandingkan dengan hasil pemeriksaan PET pada orang yang tidak menderita skizofrenia; dan (5) perawatan yang berhasil pada pasien skizofrenia telah terbukti mengubah jumlah homovanilic acid (HVA), suatu metabolit dopamine, di cairan serebrospinal, plasma, dan urine.

Bagaimanapun juga, hipotesis dopamine ini masih jauh dari sempurna. Apabila, ketidaknormalan fisiologis dopamine sepenuhnya mempengaruhi patogenesis skizofrenia, obat-obat antipsikosis akan lebih bermanfaat dalam pengobatan pasien, tetapi obat-obat tersebut tidak begitu efektif bagi kebanyakan pasien dan tidak efektif sama sekali bagi beberapa pasien. Bahkan, antagonis reseptor NMDA seperti phencyclidine pada saat diberikan kepada orang-orang yang non-psikosis, dapat menimbulkan gejala-gejala “mirip skizofrenia” daripada agonis dopamine. Adanya pengklonaan (cloning) terbaru dan karakteristik tipe multiple reseptor dopamine memungkinkan diadakannya uji langsung terhadap hipotesis dopamine yaitu mengembangkan obat-obat yang selektif terhadap tiap-tiap tipe reseptor. Antipsikosis tradisional dapat mengikat D2 50 kali lebih kuat daripada reseptor D1 atau D3. Sampai sekarang, usaha utama pengembangan obat adalah untuk menemukan obat yang lebih poten dan lebih selektif dalam menyakat reseptor D2. Fakta yang menunjukkan bahwa beberapa obat antipsikosis mempunyai dampak lebih sedikit terhadap reseptor D2 dan belum efekti dalam terapi untuk skizofrenia, perhatian dialihkan ke peranan reseptor dopamine yang lain dan kepada reseptor non-dopamine khusunya subtype reseptor serotonin yang dapat memediasi efek-efek sinergistik atau melindungi dari konsekuensi ekstrapiramidal dari antagonisme D2. Sebagai hasil pertimbangan ini, arah penelitian telah berubah ke focus yang lebih besar tentang komponen yang mungkin aktif bekerja pada beberapa sistem reseptor-transmitter. Harapan yang terbesar yaitu untuk menghasilkan obat-obatan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan sedikit menimbulkan efek yang tak diinginkan, khususnya toksisitas ekstrapiramidal.

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. TIPE KIMIA
Sejumlah struktur kimia telah banyak dikaitkan dengan sifat-sifat obat antipsikosis. Obat-obatan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa grup.
1. Derivat Phenothiazine : Ketiga subfamili phenothiazine yang terutama berdasarkan pada rantai samping molekul, dahulu merupakan antipsikosis yang paling banyak digunakan. Derivat alifatik (misalnya chlorpromazine) dan turunan piperidine (misalnya thioridazine ) merupakan obat-obat yang paling rendah potensinya. Derivate piperazine sangat poten pada kesadaran dan efektif pada dosis rendah. Derivat piperazine juga sedikit efektif pada efek farmakologis mereka.
2. Derivat Thioxantene : Kelompok obat ini terutamanya diwakili oleh thiothixene. Pada umumnya, campuran ini lebih kecil potensinya dibandingkan dengan analog phenothoazine-nya.
3. Derivat Butyrophenon : kelompok ini, dimana haloperidol paling banyak digunakan, mempunyai struktur yang sangat berbeda dari kedua kelompok pertama. Diphenylbutylpiperidine adalah senyawa yang paling erat kaitannya. Obat-obat ini cenderung lebih poten dan memiliki sedikit efek otonomis.
4. Struktur lainnya: Obat-obat terbaru, Antipsikosis Generasi II yang tidak semuanya tersedia di Amerika Serikat, memiliki beragam struktur dan mencakup pimozide, molindone, loxapine, clozapine, olanzapine, quetiapine, sertindole, dan zaiprasidone

Absorpsi dan Distribusi :
Kebanyakan obat antipsikosis dapat diabsorpsi namun tidak sepenuhnya terabsorpsi. Terlebih lagi, banyak dari obat-obat ini mengalami metabolisme lintas pertama yang signifikan. Karena itu, dosis oral chlorpromazine dan thioridazine memiliki availibilitas sistemik 25% - 35% sedangkan haloperidol, yang paling sedikit dimetabolisme tubuh mempunyai availibilitas sekitar 65%.
Kebanyakan antipsikosis mempunyai sifat kelarutan lipid tinggi dan ikatan protein tinggi (92%-99%). Mereka mempunyai volume distribusi yang besar (biasanya >7 L/kG). Mungkin oleh karena obat-obatan tersebut cenderung tersebar dibagian-bagian lipid tubuh dan memiliki afinitas yang amat tinggi pada reseptor neurotransmitter tertentu pada sistem saraf pusat, obat-obat tersebut umumnya mempunyai masa kerja klinis yang lebih lama daripada yang diperkirakan dari waktu plasmanya. Metabolit chlorpromazine dapat dieksresi di dalam urine beberapa minggu sesudah pemberian dosis terakhir pada penggunaan kronis. Selain itu, kekambuhan tidak akan terjadi sampai enam minggu atau lebih setelah berhentinya pemberian obat-obat antipsikosis.

Metabolisme :
Kebanyakan antipsikosis dimetabolisme hampir lengkap melalui serangkaian proses. Meskipun beberapa metabolit tetap aktif, misalnya 7-hydroxichlorpromazine dan haloperidol yang tereduksi, mereka kurang dianggap penting tehadap daya kerja obat-obat ini. Satu-satunya pengecualian adalah mesoriadzine, metabolite thioriadzine yang utama, yang lebih poten dari komponen aslinya dan lebih banyak menimbulkan efek. Komponen ini telah banyak dijual sebagi unsure terpisah.

Eksresi :
Sedikit sekali dari obat ini yang dieksresikan tanpa ada perubahan, karena obat-obat tersebut hampir sepenuhnya dimetabolisme menjadi substansi yang lebih polar. Waktu eliminasinya beragam, dari 10 sampai 24 jam.

B. EFEK-EFEK FARMAKOLOGIS
Obat-obat antipsikosis phenothiazine yang pertama, dengan chlorpromazine sebagai prototipenya, terbukti memiliki serangkaian efek-efek sistem saraf pusat, otonom, dan endokrin yang beragam. Aksi ini diakibatkan oleh efek penyekatan yang kuat pada sistem reseptor. Reseptor tersebut termasuk dopamine dan adrenoreseptor-alpha, muskarinik, histamine H1,dan serotonin (5-HT2). Dari reseptor-reseptor ini, efek reseptor dopamine segera menjadi focus utama minat penelitian
1. Sistem Dopaminergik : Sampai tahun 1959, dopamine belum dianggap sebagi neurotransmitter didalam sistem saraf pusat melainkan sebagai precursor norepinephrin. Lima sistem atau alur penting dopaminergik telah diketahui pada otak. Sistem pertama yang paling terkait dengan perilaku adalah mesolimbi-meokortikal, yang berawal dari badan-badan sel dekat substantia nigra menuju sistem limbic dan neokorteks. Sistem yang kedua alur nigrostriatal –terdiri dari neuron-neuron yang berawal dari substantia nigra ke nucleus kaudatus dan putamen; yang berperan dalam koordinasi pergerakan dibawah kesadaran. Sistem ketiga –sistem tuberoinfundibuler- menghubungkan nukelus arkuatus dan neuron preifentrikuler ke hipotalamus dan pituitary posterior. Dopamine yang dirilis oleh neuron-neuron ini secara fisiologis menghambat sekresi prolactin. Sistem dopaminergik keempat- alur medulari-periventrikuler- terdiri dari neuron-neuron di nucleus dari vagus yang proyeksi tidak diterangkan dengan jelas. Sistem ini mungkin berperan dalam perilaku makan. Sistem kelima –alur insertohipotalamus- membentuk hubungan didalam hipotalamus dan dengan nucleus septum lateralis. Fungsinya belum diketahui.
2. Reseptor Dopamine dan Efeknya : Saat ini, lima reseptor dopamine yang berbeda telah dijabarkan, terdiri dari dua famili yang terpisah, yaitu kelompok reseptor mirip D1 dan mirip D2. Reseptor D1 ditandai dengan sebuah gen pada kromosom 5, peningkatan cAMP dengan mengaktifkan adenylyl cyclase, dan berlokasi terutama diputamen, nukelus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, D2,yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 4, juga meningkatkan cAMP, dan ditemukan di hipokampus dan hipotalamus. Potensi terapeutik obat-obat antipsikosis tidak berkaitan dengan afinitasnya dalam mengikat D1. Reseptor D2, yang ditandai dengan kromosom 11, diperkirakan dapat menurunkan cAMP (dengan menghambat adenylyl cyclase) dan menyakat kanal kalsium. Reseptor tersebut ditemukan, baik pada pra- maupun pascasinaps neuron-neuron di putamen kaudatus, nucleus accumben, dan tuberkel olfaktorius. Anggota kedua dari famili ini, reseptor D3, yang ditandai oleh sebuah gen pada kromosom 11, diperkirakan dapat juga menurunkan cAMP, dan berlokasi di korteks frontalis, medulla, dan otak tengah. Reseptor D4, anggota terbaru famili “mirip D2” juga menurunkan cAMP. Semua reseptor dopamine mempunyai domain tujuh-transmembran dan terhubung dengan protein G. Aktifasi reseptor D2 oleh sejumlah agonis langsung dan tak langsung (misalnya levodopa amphetamine, apomorphin) menyebabkan meningkatnya aktifitas motorik dan perilaku stereotipe pada tikus, model percobaan yang telah banyak digunakan untuk skreening obat antipsikosis. Saat diberikan pada manusia, obat yang sama akan mengakibatkan skizofrenia. Obat-obat antipsikosis tersebut menyatakan reseptor D2 secara stereoselektif, pada sebagian lokasi, dan afinitas ikatannya sangat kuat, ini mempunyai korelasi dengan potensi klinis antipsikosis dan ekstrapiramidal, suatu observasi memancing banyaknya studi mengenai ikatan reseptor.
Tidaklah mungkin untuk menunjukkan bahwa antagonis reseptor dopamine selain reseptor D2 mempunyai peranaan terhadap obat-obat antipsikosis. Antagonis reseptor D3 yang selektif masih belum tersedia. Sedangkan antagonis reseptor D1 yang spesifik telah dikembangkan, dan setidaknya hanya 1 yang terbukti gagal dalam percobaan klinis. Usaha-usaha untuk menemukan efek antagonisme D4 selama ini menemukan jalan buntu. Partisipasi glutamate, GABA, dan reseptor achetilcolin didalam patofisiologi skizofrenia juga telah dilaporkan. Obat- obat yang menjadi target didalam sistem glutamatergic dan colinergic baru merupakan awal untuk dievaluasi didalam skizofrenia

C. PERBEDAAN DIANTARA OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS.
Walaupun semua obat antipsikosis efektif menyakat reseptor D2, kekuatan penyakatan yang berkaitan dengan daya kerja lain resdeptor tersebut berbeda pada masing-masing obat. Sejumlah eksperimen terhadap ikatan reseptor- ligan telah dilakukan untuk menemukan satu kerja reseptor yang dapat memprediksi efikasi obat-obat antipsikosis. Misalnya, studi invitro tentang ikatan menunukkan bahwa Chlorpromazine dan Thioridazine ternyata lebih efektif dalam menyakat α-1-adrenoseptor dari pada reseptor D2 . kedua unsur tersebut juga relatif kuat menyakat reseptor 5-HT2 . bagaimanapun juga, afinitas reseptor D1, sebagaimana diukur dengan penggantian ligan D1, selektif, SCH23390 relatif lemah. Obat-obat seperti perpenazine dan haluperidol bekerja lebih banyak pada reseptor D2; dan memeberikan efek terhadap 5-HT2 dan reseptor α-1, tetapi tak begitu berpengaruh terhadap reseptor D1. pimozide bekerja secara ekslusif pada resptor D2. clozapine antipsikosis atipikal, yang menujukkan perbedaan klinis yang jelas dari yang lainnya, lebih mengikat D4 , 5-HT2, α-1, dan reseptor histamine H1,daripada reseptor D2 dan D1. Risperidone hampir sama kuatnya dalam menyakat D2 dan reseptor 5-HT2. Obat yang baru-baru ini diperkenalkan, olanzapine, ternyata lebih poten sebagai antagonis reseptor 5-HT2, dengan potensi yang lebih sedikit dan hampir sama pada reseptor D1,D2,dan α-1. sedangkan serpindole lebih poten sebagai antagonis 5-HT2 dan relatif poten sebagai antagonis D2 dan α-1. Kesimpulan yang sederhana dari eksperimen tersebut :
Chlorpromazine α1 = 5-HT2 > D2 > D1
Haloperidol : D2 > D1 = D4 > α1 > 5-HT2
Dari penjelasan diatas, tampak bahwa pengikatan reseptor D1, tersebut paling sedikit kemungkinannya untuk diprediksi manfaat klinisnya, tetapi afinitas reseptor lain yang paling sulit untuk diinterpretasi. Penelitian baru-baru ini dilakukan untuk mengetahui senyawa antipsikosis atipikal yang lebih selektif terhadap sistem mesolimbik ( untuk mengurangi efek-efeknya pada sistem ekstrapiramidal) atau memberi efek pada reseptor neurotransmitter pusat- seperti pada asetlkolin dan asam amino eksitatorik- yang masih belum diajukan sebagai target kerja obat-obat antipsikosis.

D. Efek-efek psikologis:
Kebanyakan obat-obat antipsikosis mengakibatkan efek subyektif dan tidak menyenangkan pada pasien non-psikosis; kombinasi rasa kantuk, lelah, dan efek otonom yang menimbulkan pengalaman tidak seperti yang dikaitkan dengan sedativa atau hipnotika yang lebih dikenal. Pasien non-psikosis juga akan mengalami gangguan performa sebagaimana ditunjukkan oleh tes-tes psikomotor dan psikometrik. Akan tetapi, pasien psikosis kemungkinan menunjukkan tingkatan dalam hal performa saat tingkat psikosisnya diturunkan.

E. Efek-efek neurofisiologis:
Obat-obat antipsikosis mengakibatkan pergeseran pola frekuensi elektroensefalografi, biasanya menurunkan frekuensi dan meningkatkan sinkronisasinya. Penurunan (hipersinkronisasi) tersebut fokal atau unilateral, yang dapat mengarah kepada interpretasi diagnosis yang salah. Perubahan perubahan amplitudo dan frekuensi yang diakibatkan oleh obat-obat psikotropika sudah jelas tampak dan dapat dihitung dengan teknik elektrofisiologis yang canggih
Perubahan ensefalografi yang berkaitan dengan obat-obat antipsikosis pertama kali tampak pada elektroda suportikal, dan mendukung asumsi kalau obat-obat tersebut bekerja lebih banyak pada daerah subkortikal. Hipersinkronisasi yang ditimbulkan oleh obat-obat ini dapat berakibat pada pengaktifan EEG pada pasien epilepsi, dan juga mengakibatkan kelumpuhan diwaktu-waktu tertentu pada pasien yang tidak pernah mengalami kelumpuhan sebelumnya.

F. Efek-Efek endokrin
Obat-obat antipsikosis menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan pada sistem reproduksi. Amenore –galaktore, tes kehamilan yang salah (false positif), dan peningkatan libido dilaporkan telah terjadi. Pada wanita, sedangkan pada pria penurunan libido dan ginekomasti. Beberapa dampak bersifat sekunder dala menyakat penghambatan tonik dopamine pada sekresi prolaktin; yang lainnya mungkin berhubungan kepada konfersi perifer androgen ke estrogen. Sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali pada produksi prolaktin sesudah pemberian sejumlah antipsikosis terbaru seperti : olanzapine, guethiapine, dan sertindole, bisa menjadi tanda berkurangnya antagonisme D2 wsehingga mengurangi resiko disfungsi sistem ekstrapiramidal dan diskinesia tardiff, serta disfungsi endokrin.

G. Efek-efek kardiovaskuler
Hipotensi orthostatik dan denyut nadi tinggi seringkli ditimbulkan oleh peggunaan phenothiazine(potensi rendah)kemudian ” dosis tinggi”. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer, dan volume sekuncup menurun, dan denyut nadi meningkat. Efek-efek ii dapat diprediksi dari daya kerja otonom obat-obat ini. ECG yang abnormal telah dicatat, khususnya dengan Thioridazine. Perubahan perubahan tersebut mencakup perpanjangan interval QT dan konfigurasi abnormal dari unsur ST dan gelombang T. Gelombang tersebut melingkar, mendatar, atau tidak rata. Perubahan ini dapat dibalik dengan hanya menghentikan obat-obat terebut.
Diantara obat-obat antipsikosis terbaru, perpanjangan interval QT atau QTC- dengan peningkatan resiko aritmia yang berbahaya- sudah begitu mengkhawatirkan sen=hingga ssertindole merupakan obat pertama yang ditarik dari pasaran menunggu evaluasi selanjutnya. Sedangkan ziprasidone masih dipelajari lebih lanjut sebelum diambil keputusan yang final. Untuk mengesampingkan bermakna klinis QTc.

FARMAKOLOGI KLINIK OBAT-OBAT ANTIPSIKOSIS
A. CARA PENGGUNAAN
Dalam memilih pertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat, contohnya chlorpromazine dan thiaridazine yang efek samping sedatifnya kuat terutama digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, dan perilaku, dll. Sedangkan trifluoperazine, fluphenazine,dan haloperidol yang memiliki efek sedative lemah digunakan untuk sindrom psikosis dengan gejala dominant apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif, hipoaktif, waham, halusinasi, dll.
Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjurannya yaitu 1 atau 2mg. Dinaikkan dosisnya 2 sampai 3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul perbedaan gejala), beberapa kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Evaluasi dilakukan tiap 2 minggu dan bila perlu dosis dinaikkan, sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi masa bebas obat 1-2 hari /minggu ). Kemudian tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4 minggu dan dihentikan. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis haloperidol diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5 – 1,5 mg/ hari dengan pemberian 2 atau 3 kali perhari
Obat antipsikosis long acting (flufenazine decanoat, 25mg/mL atau haloperidol decanoat, 50mg/mL IM, untuk 2-4 minggu) sangat berguna pada pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Dosis dimulai dengan 0,5 mL setiap 2 minggu pada bulan pertama kemudian baru ditingkatkan 1mL setiap bulan.
Penggunaan chlorpromazine injeksi sering menimbulan hipotensi orthostatik bila terjadi atasi dengan injeksi noradrenalin (effortil, IM). Efek samping ini dapat dicegah dengan tidak langsung bangun setelah suntik atau tiduran selama 5-10 menit.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal, maka diberikan tablet trihexylphenidine (artane ®) 3-4 x 2mg/hari atau sulfas athropin 0,5-0,75 mg IM.

B. PENGATURAN DOSIS
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
• Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
• Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
• Waktu paruh : 12-14 jam (pemberian obat 1-2 x/hari).
• Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan ”dosis awal” sesuai dengan ”dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari  sampai mencapai ”dosis efektif”(mulai timbul peredaran sindrompsikosis)  dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan  ”dosis optimal”  dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  ”dosis maintenance”  dipertahankan 6 bulan – 2 tahun (diselingi ”drug holiday” 1-2 hari/minggu)  Tappering off (dosis diturunkan setiap 2-4 minggu)  Stop.

C. LAMA PEMBERIAN
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang “multi episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun, pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5-5 kali
Efek obat antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir. Masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya 1 bulan kemudian baru gejala psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkann metabolisme dan eksresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai efek antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosiss sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 3 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “psikosis reaktif singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya dalam gejala kurun waktu 2 minggu sampai 2 bulan. Obat antipsikosis tidak meimbulkan gejala lepas obatyang hebat walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak yang dapat timbul “ kolinergik rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “ antikolinergic agent” (injeksi sulfas atropin 0,25mg IM), tablet trihexylphenidil (3x2mg/hari) oleh karena itu pada penggunaan bersama obat antipsikosis plus antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, baru meyusul obat antiparkinson.

D. PEMAKAIAN KHUSUS
Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan hiperaktif, emosional labil, dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi, agitasi) dengan dosis 20-200mg/hari. Hal ini disebabkan thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor dopamine disistem limbik daripada disistem ekstrapiramidal pada SSP (sebalinkya dari haluperidol)
Haluperidol dosis kecil untuk “Gilles de la tourette’s syndrome” sangat efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2-15 tahun. Terdapat gerakan-gerakn involunter, berulang, cepat, dan tanpa tujuan, yang melibatkan banyak kelompok otot (tics). Disertai tics fokal yang multipel (misalnya, suara klik, dengusan, batuk, menggeram, menyalak, atau kata-kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM) merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi terhadap obat antipsikosis (khususnya pada long acting) dimana resiko ini lebih besar ). Semua pasien yang diberikan obat antipsikosis mempunyai resiko untuk terjadinya SNM tetapi dengan kondisi dehidrasi, kelelahan, atau malnutrisi, resiko ini akan menjadi lebih tinggi.
Butir-butir diagnostik SNM :
1. Suhu badan >380C (hiperpireksia)
2. Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat (rigidity)
3. Terdapat gejala disfungsi otonomik (incontinensia urine)
4. Perubahan status mental
5. Perubahan tingkat kesadaran
6. Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat.
Pengobatan :
1. Hentikan segera obat antipsikosis
2. Perawatan supportif
3. Obat dopamin agonis ( bromokriptin 7,5 – 60 mg/hari 3dd1, L-dopa 2 x 100 mg/hari atau amantadine 200 mg/hari)
Pada pasien usia lanjut atau dengan sindrom psikosis organik, obat antipsikosis diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi orthostatik) dan sedasinya yaitu golongan ”high potency neuroleptic”, misalnya haloperidol, trifluoperazine, flufenazine, antipsikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, beresiko tinggi anak yang dilahirkan penderita gangguan saraf ekstrapiramidal.

Kamis, 04 Juni 2009

Dopamin: Menyibak Tabir Cinta dan Perilaku Manusia



Bayangkan, anda memasuki ruangan dokter sambil membawa kartu cerdas berisi seluruh informasi genetik tubuh anda yang telah dikode dan diamankan dengan nomor PIN seperti anda membuka ATM. Dengan melihat data-data informasi genetik anda yang unik, dokter dapat menentukan obat yang tepat dalam dosis yang akurat secara efisien sesuai dengan kondisi anda tanpa khawatir akan terjadinya ADR (Adverse Drug Reaction), efek samping maupun ketidaktepatan pemilihan obat. Keadaan tersebut merupakan impian para ilmuwan yang bergerak di bidang farmakogenetik, suatu ilmu yang menghantarkan manusia pada "pengobatan individual/pengobatan butik" berdasarkan pemetaan lengkap seluruh gen yang dimiliki tubuh manusia. Para ilmuwan di bidang biologi molekuler yang tergabung dalam Human Genome Project (HGP) telah mengumumkan hasil sekuensing sekitar 100.000 gen manusia tertanggal 26 juni 2000. Farmakogenomik mencari korelasi yang belum terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk membuat keputusan yang tepat, rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan pemberian obat, kesalahan dosis, maupun resiko efek samping karena penggunaan metode trial-and-error.

Tak ingin jauh berbeda dari impian para pharmacogenomist, para neuroscientist yang meneliti dopamin -zat kimia otak yang secara alami disintesis terutama dalam jaringan saraf dan kelenjar adrenal- semakin gencar menelusuri mekanisme dan jalur-jalur biokimia yang terkait dengan si penghantar signal antar saraf sekaligus neurohormon itu. Sebagai neurotransmitter, dopamin menghantarkan pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain sedangkan sebagai neurohormon, dopamin bekerja menghambat pelepasan prolaktin dari lobus interior pituitary.

Para neurophysiologist, computer scientist, psychologist dan economist yang berkolaborasi dalam studi interdisiplin di jurnal Nature vol. 9, Agustus 2006, mengemukakan hipotesa mengenai sel saraf dopamin otak tengah sebagai pengkode dalam menentukan pengambilan keputusan. Menggunakan monyet macaque (Macaca fasicularis) sebagai binatang percobaan, G. Morris et al. melaporkan analisis hasil penelitian mereka yang menunjukkan bahwa sel saraf dopamin dalam perilaku primata membawa sinyal yang berguna untuk mempelajari kemungkinan reward dan probabilitas pengambilan keputusan atas adanya reward tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa sel saraf dopamin mengkode aksi yang akan dilakukan ketika suatu reward diberikan. Peran utama dopamin sebagai pusat reward reinforcement dan motivasi perilaku adalah daya pikat utama molekul ini sehingga membuat para ilmuwan tertarik untuk bergabung dalam studi interdisiplin untuk mempelajari lebih dalam mengenai jalur-jalur dopamin.

Secara sederhana, reward adalah segala sesuatu dimana makhluk hidup akan berusaha melakukan kerja untuk mendapatkannya. Contohnya: makanan dan seks. Fenomenanya dinamakan brain stimulation reward (BSR). Hal yang menarik dalam eksperimen BSR ialah bahwa reward itu sendiri tidak akan memberikan rasa kepuasan. Penelitian BSR digalakkan untuk menghantarkan pemahaman mengenai bagaimana otak secara keseluruhan mengatur dirinya sendiri untuk membentuk sebuah perilaku. Terkait dengan ini, sel saraf dopamin akan diaktivasi ketika suatu rangsangan reward muncul. Dopamin dipercaya oleh para ilmuwan sebagai zat kimia yang ikut bertanggung jawab menentukan perilaku pengambilan keputusan oleh otak. Ketika suatu rangsangan reward yang sama muncul kembali, ada sebuah keterulangan perilaku untuk merespon. Hal ini menyebabkan penelitian dopamin dianggap sebagai salah satu kunci dalam mengungkapkan proses learning and memory. Dapat anda bayangkan, bahwa sesungguhnya sebuah keinginan, sebuah pemikiran, bahkan sebuah perilaku, dapat ditebak dan dipetakan dengan mempelajari rangkaian molekul-molekul dalam otak.

Menelusuri fungsi dopamin selanjutnya, molekul ini berperan dalam banyak perilaku manusia dalam kehidupan. Mulai dari kecanduan, psikosis, kegelisahan, perubahan mood sampai perilaku abnormal akibat ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak.

Cinta dan Dopamin

Jika anda jatuh cinta, maka rasa `pleasure feelings` yang anda rasakan adalah peran dopamin. Bersama dengan meningkatnya kadar adrenalin yang mempercepat denyut jantung, serta rendahnya kadar serotonin yang menyebabkan rasa obsesif (kepemilikan), dopamin memberikan efek membahagiakan, meningkatan energi, menurunkan nafsu makan, dan mengurangi konsentrasi.

Kolaborasi anthropologist, physiologist dan neuroscientist dalam The Journal of Comparative Neurology vol. 493 Oktober 2005 melaporkan hasil riset mereka menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk memperhatikan otak 17 orang wanita dan pria saat mereka sedang memperhatikan foto lawan jenis yang disukainya. Data hasil scan menunjukkan bahwa adanya peningkatan aliran darah dalam otak serta adanya peningkatan kadar reseptor dopamin dalam area caudate nucleus dan ventral tegmental area (VTA) sebelah kanan. Menurut Dr. Helen Fisher dari Rutgers University dalam jurnal yang sama mengatakan bahwa apa yang nampak dalam alat scan tersebut adalah suatu keinginan biologis untuk fokus terhadap satu objek. Tingginya kadar dopamin diasosiasikan dengan meningkatnya perhatian, hiperaktivitas, keresahan dan perilaku goal-oriented. Dengan kata lain, seseorang yang berada dalam situasi ini akan terfokus kepada pasangannya dan kurang perhatian terhadap hal yang lainnya.

Dalam jangka waktu tertentu setelah hubungan intens/aktivitas seksual, oksitosin dan vasopressin akan mempengaruhi jalur-jalur dopamin dan adrenalin, sehingga menyebabkan kadar kedua molekul ini menurun. Mekanisme ini dipercaya menyebabkan `pleasure feelings` memudar setelah beberapa lama hubungan intens atau terjadinya aktivitas seksual. Sebuah tim kolaborasi ilmuwan dari Universitas Pisa di Italia menyebutkan bahwa, studi menunjukkan `pleasure feelings` dan `passionate` akan memudar dan hampir-hampir hilang setidak-tidaknya 2 tahun setelah hubungan intens antar pasangan terjadi. Perubahan kadar `kimia cinta` berupa dopamin, adrenalin, norepinephrin, dan phenylethylamin adalah penyebabnya sehingga suatu reward akan lebih ditanggapi secara rasional daripada mengandalkan aktifitas hormonal.

Candu dan Dopamin

Love 'as addictive as cocaine` begitu komentar para neuroscientist yang memang bisa dibuktikan oleh mekanisme molekuler. Diatas telah disebutkan bahwa `pleasure feelings` saat jatuh cinta merupakan ulah dopamin. Begitu pula mekanisme kecanduan yang diberitakan oleh Eric J. Nestler dalam Jurnal Nature Neuroscience oktober 2005. Mekanisme kecanduan terkait erat dengan jalur mesolimbic dopamin yang meliputi dopaminergic sel saraf di VTA serta daerah limbic forebrain, terutama nucleus accumbens (NAc). Jalur VTA-NAc ini adalah jalur terpenting dalam efek akut sistem reward dalam semua jenis adiksi obat. Beberapa jenis obat dan senyawa yang menyebabkan adiksi diantaranya ialah amfetamin, kokain, opiat, alkohol dan nikotin. Senyawa seperti kokain misalnya, dapat menyebabkan beberapa ribu kali peningkatan kadar dopamin dalam otak. Hal ini akan menyebabkan kecanduan dan perasaan ingin mendapatkan `pengalaman rasa` yang sama. Gangguan pada ketersediaan dopamin maupun jumlah reseptor dopamin akan dapat menyebabkan abnormalitas perilaku dan aktifitas gerak.

Beberapa area otak yang terkait dengan jalur VTA-NAc juga essensial dalam mekanisme reward dan perubahan reward secara kronik dalam kaitannya dengan adiksi. Area yang dimaksud adalah amygdala, hippocampus, hipotalamus, dan beberapa wilayah di korteks frontal. Beberapa area ini adalah bagian penting dari sistem penyimpanan memori di otak. Hal ini menghantarkan kepada pemahaman bahwa aspek-aspek penting dalam mekanisme adiksi sangat terkait dengan memori.

Selanjutnya ada suatu indikasi bahwa jalur VTA-NAc dan beberapa wilayah sistem limbik tersebut juga memediasi efek `natural addiction` terhadap `natural rewards` seperti makanan, seks dan interaksi sosial. Dalam jurnal Molecular Psychiatry, Volkow, N. D et al. melaporkan bahwa ditemukannya abnormalitas yang serupa dari hasil scan penampakan otak untuk kecanduan obat dan kecanduan alamiah (natural addiction). Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut untuk mekanisme kecanduan alamiah ini masih perlu dilakukan, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dan heterogennya sindrom klinik yang muncul.

Eisch, A.J. dalam Progress in Brain Research melaporkan bahwa setelah pemakaian secara kronik, beberapa obat yang memiliki efek candu berkecenderungan untuk mengurangi neurogenesis (pembentukan sel saraf baru) di otak daerah dentate gyrus hippocampus orang dewasa. Sampai saat ini fungsi neurogenesis hippocampal orang dewasa merupakan subjek yang masih sangat kontroversial. Pembentukan sebuah sel saraf baru dipercaya merupakan hal yang esensial dalam pembentukan sebuah memori baru. Penemuan selanjutnya untuk memperkuat bukti bahwa penggunaan obat-obat tertentu secara kronik dapat mereduksi neurogenesis masih dinantikan. Penemuan tersebut akan berguna untuk menjawab pertanyaan mengenai mekanisme abnormalitas perilaku yang menyimpang dan ingatan yang berkurang dari banyak kasus kecanduan.

Candy dan dopamin

Jika anda menginginkan sebuah permen yang pernah anda rasakan sebelumnya, reward yang ditimbulkan ketika anda ingin merasakan nikmatnya pengalaman mengunyah permen tersebut juga adalah peran dopamin. Ketika manusia lapar dan melihat makanan, sel-sel dopamin akan teraktivasi. Kalau anda memakan makanan yang sangat lezat dan pada waktu yang lain anda melihatnya kembali, sel-sel dopamin anda akan teraktivasi hingga mengumpul dan menjenuh. Riset selanjutnya dalam kaitan antara dopamin dan makanan dilaporkan oleh Volkow.N et al. dari Brookhaven National Laboratory yang membawa kemungkinan baru dalam strategi pengobatan obesitas/ kegemukan. Ditemukan adanya abnormalitas kadar reseptor dopamin dalam otak orang-orang yang kegemukan. Dengan menggunakan PET (Positron Emission Topography) dan senyawa radioaktif, dilakukan pengukuran kadar reseptor dopamin dalam otak 10 orang pasien obesitas dan 10 orang dengan berat normal. Hasilnya menunjukkan kadar reseptor dopamin yang lebih rendah pada pasien obesitas dibandingkan dengan orang normal. Gene-Jack Wang dari laboratorium yang sama mengemukakan bahwa cara memperbaiki kembali fungsi dopamin dimungkinkan sebagai salah satu strategi dalam pengobatan pasien obesitas.

Crazy dan Dopamin

Ingatkah anda pada kegilaan nobelis DR. John Nash dengan tokoh halusinasinya yang di abadikan dalam film `Beautiful mind`? Pada pasien schizophrenia, kadar dopamin meningkat berlebihan, sehingga menyebabkan otak berhalusinasi. Schizophrenia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Psikiater asal Scandinavia, Dr. John Carlson, menyebutkan bahwa banyak ilmuwan top dunia dalam sejarah ternyata mengidap Schizophrenia. Riset di laboratorium dengan menggunakan aneka macam tehnik kedokteran nuklir diantaranya pemakaian radioisotop untuk menentukan bagian-bagian pada otak yang berkaitan dengan schizophrenia semakin digalakkan. Riset dipusatkan pada penelusuran mekanisme dan daya kemampuan otak untuk menimbulkan dopamin. Menurut dugaan, abnormalitas pada schizophrenia terjadi dalam bentuk rantai panjang serta komplek yang dimulai dengan perubahan pirosin menjadi dopa, dopa menjadi dopamin, dan dopamin menjadi noradrenalin. Masing-masing mata rantai ini terjalin menggunakan enzim yang spesifik. Ketika adanya gangguan saat proses konversi kritis ini berlangsung, maka memungkinkan terbentuknya ketidakseimbangan kadar dopamine sehingga menimbulkan gangguan perilaku dan mental.

Lain halnya dengan Parkinson, kadar dopamin pada pasien yang menderita penyakit ini menurun berlebihan, sehingga menyebabkan otot motorik kehilangan fungsi normalnya. Gejala yang ditimbulkan akan berupa tremor/dyskinesia (distorsi dalam menjalankan otot volunter). Arvid Carlsson, ilmuwan asal Swedia, adalah orang yang mengarahkan pemahaman mengenai dopamin dan penyakit parkinson. Ia membuktikan bahwa di dalam daerah ganglia basalis otak manusia terdapat kadar yang tinggi dopamin. Sebelumnya, para ilmuwan masih meyakini bahwa dopamin hanyalah suatu prekursor bagi neurotransmitter noradrenalin. Carlsson berhasil mematahkan anggapan ini, karena ia menemukan bahwa dopamin terkonsentrasi di daerah otak yang lain dari tempat noradrenalin, sehingga ia berkesimpulan, dopamin adalah neurotransmitter tersendiri yang terpisah dari noradrenalin. Atas penemuannya ini, ia dianugrahi nobel di bidang kedokteran tahun 2000.

Riset Carlsson mengenai dopamin meningkatkan pemahaman mengenai obat-obat Parkinson dan beberapa obat lain. Ia berhasil menunjukkan obat-obat antipsikotik yang banyak dipakai untuk mengobati pasien skizofrenia, mempengaruhi transmisi sinaptik dengan memblok reseptor-reseptor dopamin. Temuan Carlsson juga memiliki makna penting bagi pengobatan depresi, salah satu penyakit kejiwaan yang paling banyak dialami manusia. Ia berkontribusi bagi pengembangan obat-obat antidepresi generasi baru, yaitu kelompok SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti Prozac (flouxetine) yang sempat terlaris di Amerika (pada awal tahun 1990-an mencapai omzet 1 milyar dollar AS, walaupun kemudian popularitasnya mulai menurun karena diperdebatkan sebagai "kapsul kepribadian", yang membuat pasien yang meminumnya seolah-olah mengalami perubahan kepribadian).


Selain Schizophrenia dan Parkinson, ketidakseimbangan kadar dopamin dalam otak juga diduga mempunyai korelasi dengan penyakit Attention-Deficit/Hyperactivity Disorders (ADHD) dan autisme, dimana keduanya memberikan gejala abnormalitas pada perilaku pasien.

Memoriku Dopaminku

Bagaimana seorang pelukis handal dapat melukis wajah seorang gadis memikat hati yang lama tak ditemuinya atau bagaimana seorang penulis merincikan kembali pemandangan gunung Fuji dengan sentuhan emosi dan cuaca saat itu. Kedua kejadian tersebut berkaitan erat dengan sistem reward dan memori.

Menulis seperti halnya melukis, dimana keduanya menaburkan ingatan-ingatan akan kata maupun bentuk rupa. Ketika anda melukis, anda menggunakan banyak area di otak bagian belakang tempat korteks visual dimana suatu gambar dibentuk. Baik dengan kuas maupun pena, imagi-imagi akan keluar dari lokus-lokus memori.

Suatu memori mengkorelasikan anda tidak hanya kepada bentuk gambar masa lalu, namun juga bentuk emosi masa lalu. Riset-riset untuk mengungkap misteri penyimpanan memori menjadi topik bahasan yang menarik untuk para ilmuwan. Perlombaan mengkorelasikan kimia otak seperti dopamin, noradrenalin, ratusan enzim dan ribuan gen-gen pengkode menjadi tema-tema di laboratorium neuroscience tersebar di berbagai negara.

Pengungkapan tabir mekanisme dopamin bermanfaat untuk strategi penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh abnormalitas dopamin. Disamping berperan penting untuk mengenali wilayah abu-abu misteri proses daya ingat, penyimpanan memori, penentuan sebuah keputusan hingga membentuk suatu kebiasaan perilaku.

Andaikata mekanisme jalur-jalur dopamin dalam otak manusia terungkap transparan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan ada pasien meminta dokter untuk memberikan resep meningkatkan `pleasure feelings` setelah 3-4 tahun usia pernikahan, dimana kadar `love chemistry` saat itu telah menurun. Di lain sisi, bisa jadi masyarakat membutuhkan parameter tambahan berupa pengukuran kadar dopamin sebagai salah satu syarat kandidat presiden. Para pengusaha mempunyai cara yang lebih mudah untuk meningkatkan kinerja para anak buahnya dalam mengambil keputusan, para psikolog harus berfikir lebih keras untuk menjadi lebih cerdas menanggulangi berbagai masalah baru dalam perilaku manusia, dan para sastrawan akan sibuk merekonstruksi kembali definisi dan makna cinta.

Daftar bacaan:
1. Keeping the memories flowing. Nature neuroscience 9, 1199-1200 (2006)
2. Midbrain dopamine neurons encode decisions for future action. Nature Neuroscience 9, 1057-1063 (2006)
3. Choice values. Nature neuroscience 9, 987-988 (2006)
4. Prefrontal cortex and decision making in a mixed-strategy game. Nature neuroscience 7, 404 - 410 (2004)
5. Lust und Liebe (Lust and love): is it more than chemistry? G Frobe and R Frobe, translated by M Gross, Cambridge UK, RSC (2006)
6. Is there a common molecular pathway for addiction? Nature Neuroscience 8, 1445 - 1449 (2005).
7. (Romantic love: An fMRI study of a neural mechanism for mate choice). The journal of Comparative Neurology vol. 493, issue 1. 58-62 (2005)
8. Dopamine in drug abuse and addiction: results from imaging studies and treatment implications. Mol. Psychiatry 9, 557-569 (2004)
9. Love, Actually. Nature 427, 396-397 (29 January 2004)
10. Physiology Nobel: Celebrating the Synapse. Science Magazine vol. 290. no. 5491, p. 424. (20 October 2000)

Sara Wardhani, mahasiswa program master di Graduate School of Pharmaceutical Sciences, Department of Molecular Pharmacology, Tohoku University, Japan. Email: sarah-wh@mail2.pharm.tohoku.ac.jp

Sumber : www.beritaiptek.com

PERAWAT PERLU SENSASIONAL OFFER AGAR DIDENGAR

Tentu kita masih ingat, pada peringatan Nurse Day (Hari Perawat sedunia) 12 Mei satu tahun yang lalu, kita melakukan demo serempak di seluruh wilayah Indonesia dari ujung Sumatera sampai ujung Papua tapi seolah itu semua hilang tak berbekas hanya meninggalkan kekecewaan dan kedongkolan saja. Agaknya teriakan dan cucuran keringat perawat-perawat se-Indonesia tersebut tak lebih dari sekedar gelitikan pelan di telinga pemerintah dan legislative, bahkan mungkin hanya dianggap sebagai kilen kuping (gelitikan telinga) yang nikmat seperti saat kita mengorek-ngorek telinga kita.

Upsstt…jangan marah dan tersinggung dulu, bukan berarti meremehkan tetapi perjuangan The Young Nigthingales tersebut berarti masih kurang cantik, masih kurang menarik, masih kurang bersensasi sehingga tidak ada sama sekali cowok macho yang sudi meliriknya. Padahal tentu kita tahu, beberapa waktu yang lalu ada puluhan cowok macho tebar pesona dan tebar kejantanan agar dipilih (44 partai politik) tapi sayang sekali tidak ada satupun yang mau melirik. Duh kasihan… Nigthingale yang malang!

Adakah yang salah??? Tidak perlu kita menyalahkan siapa-siapa, tapi marilah kita mencoba introspeksi diri kita sendiri saja. Mungkin barangkali kita memang benar-benar tidak cantik atau mungkin juga karena kita tidak mampu berdandan dengan cantik. Sebenarnya kita punya potensi, jumlah kita se-Indonesia sangat banyak bahkan mungkin cukup untuk lulus parliamentary threshould menuju senayan, belum lagi jika ditambah anggota keluarga kita. Tetapi kenapa suara kita tidak pernah didengar?

Tung Desem Waringin memberi nasihat, jika kita mau menawarkan sesuatu, agar orang mau menoleh kepada kita maka kita perlu membuat SENZATIONAL OFFER (sensasi yang luar biasa sehingga semua mata tertuju kepada kita). Mungkin kita perlu menyaingi TUNG DESEM dengan menyebar uang ratusan juta dari helikopter (hehe….duite sopo???) atau mungkin kita perlu memanggil LIMBAD (The Master) dan meminta Limbad memakai baju perawat kemudian tidur di atas kasur dari pecahan kaca kemudian dilindas 100 tank TNI produksi Pindad, tidak apa-apa, kemudian berlari dan menghadang iring-iringan tank tersebut dengan badannya sampai semua tank berhenti dan meminta Limbad untuk bicara satu kalimat saja “Hai Penguasa lihatlah perjuangan perawat menolong jutaan manusia berpenyakit tanpa pamrih, tapi suara mereka tak pernah didengarkan!!” Hehe apa nggak heboh dan masuk MURI Si Limbad mau bicara?? Itu hanya satu contoh yang ekstrim dan mungkin kurang cocok dengan jiwa perawat. Tapi setidaknya itu bisa memberi inspirasi bahwa agar didengar kita harus melakukan sensasi yang luar biasa sehingga setiap mata tertuju kepada kita, setiap media meliput kita dan setiap orang jadi ingin tahu tentang kita.

Saat ini ada moment yang bagus untuk membuat sensasi dan sangat mungkin untuk didengar yaitu PILPRES. Jika kita mau dan mampu menawarkan dengan baik tentu kita akan diperhitungkan oleh mereka. Kita siap mendukung dan satu suara untuk CAPRES/CAWAPRES yang mau kontrak politik dengan kita yang bersedia meng-golkan undang-undang Praktek Keperawatan menjadi undang-undang dan bersedia memperjuangkan nasib perawat termasuk dalam hal kesejahteraan. Kesejahteraan tersebut dapat berupa karir jabatan yang jelas, kemudahan kenaikan pangkat/golongan serta adanya tunjangan kesejahteraan baik dengan nama tunjangan resiko kerja perawat atau tunjangan profesi atau tunjangan sertifikasi atau tunjangan dengan label lainnya.

Tetapi tentu saja para CAPRES/CAWAPRES tidak butuh hanya sekedar angka melainkan bukti nyata satu suara. Sehingga menjadi tantangan bagi kita untuk membuktikan bahwa kita memang solid dan mampu memobilisasi masa serta memberikan satu suara. Untuk itu perlu gerakan sensasional besar-besaran secara nasional. Misalnya dengan membuat surat pernyataan dukungan (kalau perlu bermeterai) yang dibuat oleh perawat se-Indonesia. Atau mungkin dengan membuat atribut atau kegiatan tertentu yang dilakukan dalam jumlah besar-besaran sehingga masuk MURI dan menunjukkan kesolidan selanjutnya ditawarkan ke CAPRES/CAWAPRES sebagai kontrak politik.

Sebagai penutup, adalah sebuah pertanyaan mungkin enggak ya… perawat diperhatikan, diakui peran/jasanya seperti saudara kita pahlawan tanpa tanda jasa??? Semua kembali kepada kemauan kita untuk memperjuangkannya… Wallahua’lam bi showab, ini hanya sebuah ide!

DEPRESI DAN PENANGANANNYA





Oleh dr Endro Suprayitno Sp
.KJ.



I. PENDAHULUAN

Depresi telah dicatat dan diketahui sudah sejak jaman masa lampau, diskripsi tentng apa yang dinamakan gangguan mood dapat ditemukan pada dokumen purbakala. Kira-kira tahun 400 SM. Hipokrates menggunakan istilah mania dan melankolis untuk menggambarkan gangguan mental ini. Di tahun 1854 Gules Folret menggambarkan suatu keadaan yang disebut falic circulaine, dimana pasien mengalami perubahan mood. Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak menikah

Patogenesis depresi kenyataannya sampai saat ini masih membingungkan dan belumlah pasti sehingga banyak teori-teori semuanya timbul dan berkembang seiring dengan kemajuan bidang psikofarmakologi.

II. PENGERTIAN DEPRESI

Menurut Nasional Insitute of Mental Health (dalam Siswanto, 2002), gangguan depresi dipahami sebagai suatu penyakit tubuh yang menyeluruh (whole-body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan dan pikiran. Ini berpengaruh terhadap cara makan dan tidur, cara seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu. Gangguan depresi tidak sama dengan suasana murung (blue mood). Ini juga tidak sama dengan kelemahan pribadi atau suatu kondisi yang dapat dikehendaki atau diharapkan berlaku. Orang dengan penyakit depresi tidak dapat begitu saja ”memaksa diri mereka sendiri” dan menjadi lebih baik.

Harrington (1995) membedakan antara kesedihan dan depresi. Perasaan sedih adalah bagian pengalaman yang normal. Konsep depresi berbeda dengan kesedihan atau ketidakgembiraan. Ketidakgembiraan adalah komponen yang umum pada suasana perasaan depresif yang berkaitan dengan depresi, suasana depresif pada depresi direpresentasikan oleh gambaran seperti kekosongan emosi atau suatu perasaan datar atau tumpul. Perasaan ini mungkin bervariasi dalam tingkat keparahan dan menunjukkan variasi harian, memburuk pada suatu waktu pada hari itu atau pada waktu yang lainnya. Gejala lain yang berkaitan dengan suasana perasaan depresi adalah gejala anhedonia yaitu suatu ketidakmampuan untuk mendapatkan kenikmatan dari sesuatu yang sebelumnya telah disenangi.

Hawari (1997) memberikan definisi depresi sebagai sebuah gangguan pada alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan, sedih, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa, hilangnya rasa senang, merasa tidak berdaya, dan lemah.

Sue dkk (1986) mendefinisikan depresi sebagai suatu keadaan emosi yang mempunyai karakteristik seperti perasaan sedih, perasaan gagal dan tidak berharga, dan menarik diri dari orang lain ataupun lingkungan. Depresi menganggu suasana hati atau semangat, cara berpikir, fungsi tubuh dan menganggu perilaku. Davison & Neale (2002) menjelaskan depresi adalah suatu keadaan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang sangat, perasaan tidak berharga dan perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, susah tidur, kehilangan nafsu makan dan kesenangan terhadap aktivitas sehari-hari.

Leitenberg & Wilson (1986) menyatakan bahwa mereka yang depresi menunjukkan kontrol diri rendah, yaitu evaluasi diri yang negatif, harapan terhadap performance rendah, suka menghukum diri dan sedikit memberikan hadiah terhadap diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Beck (1985) yang menyatakan bahwa individu yang mengalami depresi karena pada awal perkembangannya ia memperoleh skema kognitif dengan karakteristik berupa rendahnya penilaian terhadap diri sendiri dan tidak adanya keyakinan mengenai masa depannya.

Burns (1988) lebih lanjut membedakan antara kesedihan dan depresi. Kesedihan adalah suatu emosi normal yang diciptakan oleh persepsi realistik yang menggambarkan suatu peristiwa negatif yang berhubungan dengan kehilangan atau kekecewaan, dengan cara yang tidak terdistorsi. Depresi adalah suatu penyakit yang selalu merupakan akibat dari pemikiran yang terdistorsi. Kesedihan melibatkan suatu luapan perasan dan oleh karenanya mempunyai batas waktu tertentu. Kesedihan juga tidak berhubungan dengan menurunnya harga diri. Depresi ”membeku”, cenderung bertahan atau terjadi berulangkali dan selalu melibatkan kehilangan harga diri.

III. KRITERIA DIAGNOSIS

Akhir akhir ini depresi dimasukkan ke dalam gangguan suasana perasaan (gangguan afektif/mood). Kerlainan fundamental dari kelompok gangguan ini adalah perubahan suasana perasaan ( mood ) atau afek dan biasanya ke arah depresi dengan atau tanpa ansietas yang menyertai atau dapat juga sebaliknya yaitu ke arah elasi (suasana pertasaan yang meningkat). Perubahan afek ini biasanya disertai dengn suatu perubahan pada keseluruhan tingkat aktifitas dan kebanyakan gejala lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu atau mudah dipahami hubungannya dengan perubahan tersebut.

GANGGUAN AFEKTIF EPISODE DEPRESI

Gejala utama :

Baik pada derajat ringan, sedang dan beraat adalah : afek depresi kehilangn minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

Gejala lainnya:

Konsentrasi dan perhatian kurang, harga diri dan kepercayaan diri kurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan berkurang atau berlebihan.

1. Episode depresi ringan

Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut diatas , ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya, tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya, lamanya seluruh episod berlangsung sekurang-kurangnya sekitar dua m,inggu, hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasanya dilakukannya, dengan atau tanpa gejala somatik.

2. Episod depresi sedang

Sekurang-kurangnya harus ada dua atau tiga gejela utama depresi seperti pada episod depresi ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya, lamanya seluruh episode berlangsung minimem sekitar dua minggu, menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga, dengan atau tanpa gejala somatik.

3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik

Semua 3 gejala utama depresi harus ada ditambah sekurang kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat, bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psiko motor) yang mencolok, maka pasien mungkin tiudak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.

Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.

- Episode depresi biasanya harus berlangsung sekurang kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga kecuali pada tarap yang sangat terbatas.

4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik

- Episode depresi berat yang memenuhi kriteria depresi berat.

- Dengan disertai waham, halusinasi atau stupor depresif, waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam diri pasien, merasa bertanggung jawab atas hal tersebut. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara menghina atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.

- Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek

5. Distimia

Adalah suatu keadaan depresi kronis dari suasana perasaan dengan ciri utama adanya depresi suasana perasaan yang berlangsung sangat lama tetapi tidak pernah atau jarang sekali mengalami ke tingkat yang parah. Biasanya terjadi dalam masa kehidupan dewasa dini dan berlangsung sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu yang tidak terbatas.

IV. DEPRESI DAN AKTIFITAS AKSIS HPA

Sampai saat ini hubungan antara etiologi, gejala, proses biokimia yang mendasarinya, respon terhadap terapi masih belum cukup dipahami dengan baik dan bahkan masih membingungkan. Banyak teori-teori yang mencoba mengungkapkan masalah gangguan suasana perasaan ini diantaranya adalah teori aktifitas aksis HPA.

Dalam kehidupan sehari – hari orang tidak pernah bebas dari stres baik pisik maupun piskis. Persepsi orang terhadap stres yang sama bisa berbeda, hal ini dipengharuhi faktor bawaan dan lingkungan serta pengalaman hidup setiap individu. Oleh karena itu respon terhadap suatu stres juga beda. Dengan mekanisme aktifitas aksis HPA (Hipotalamus-Pituitari-Adrenal) keadaan stres sampai keadaan depresi dapat dipaparkan. Dengan adanya stres akan merangsang timbulnya respon aksis HPA. Respon aksis HPA ini akan segera hilang dan normal berkat adanya mekanisme umpan balik negatif lewat kortisol yang mencapai reseptornya di hipotalamus dan atau hipokampus. Bagaimanapun besarnya atau lamanya stres berlangsung tidak akan mengganggu homeostatis apabila mekanisme umpan balik tersebut masih berfungsi normal. Peningkatan sekresi CRF sebagai respon terhadap stres akan memacu kegiatan neuron LC yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem adrenergik ini akan memberikan umpan balik negatif dari reaksi aksis HPA sehingga akibatnya kegiatan aksis ini akan menurun kembali.

Disamping itu peningkatan sistem adrenergik akan meningkatkan reflek simpati adrenal untuk melepaskan adrenalin dan non adrenalin yang akan membangkitkan orang untuk bersiaga menghadapi segala kemungkinan-kemungkinan yang mengancam homeostatisnya. Pada tingkat ini gejala pskiatri yang muncul adalah reaksi cemas atau anxietas dan ditandai dengan penurunan kegiatan sistem saraf GABANERGIK dan sebaliknya peningkatan sistem saraf adrenergik dan sertonergik daan aksis HPA. Stres yang berlangsung terus menerus dan berkepanjangan pada suatu ketika tidak lagi mampu di kompensasi oleh mekanisme umpan balik negatif dari aksis HPA ini dan akibatnya degenerasi neuron-neuron yang rentan terhadap peningkatan kadar korsitol secara berlebihan. Neuron-neuron yang rentan terhadap kortisol justru neuron yang mengandung reseptor kortisol, serabut serotin dan noradrenalin dengan sendirinya akan mengakibatkan rusaknya mekanisme umpan balik aksis HPA ini.

V. SEJARAH ANTI DEPRESAN

Dengan ditemukannya sifat anti depresan dari imipramin pada tahun 1957 merupakan sejarah baru awal berkembangnya psikofarmaka. Untuk depresi imipramin, amitriptilin dan clompramin kemudian di masukkan kedalam golongan antidepresan trisiklik. Kemudian tidak beberapa lama sesudah itu ditemukan anti depresan Mono Amine Oxidase Inhibitors (MAOIs). Kedua golongan ini adalah anti depresan yang sangat efektif tetapi memiliki efek samping yang tidak menguntungkan. Antidepresan trisiklik memiliki insiden kordiotoksis dan efek samping kolinergik dan dosis letal yang rendah. Sedangkan MAOIs dapat menyebabkan krisis hipertensi jika dikombinasi dengan agen-agen simpatomimetik baik dari obat-obatan lain ataupun makanan yang mengandung tiramin.

Pada dekade 80 an ditemukan antidepresan golongan selektif Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) dan Reversible Inhibitors Of Monoamine Oksidase tipe A (RIMAs) yang memberikan efek samping anti kolinergik dan toksisitas yang lebih minimal di bandingkan anti depresan terdahulu. Meskipun begitu masih ditemukan adanya efek samping lain pada golongan SSRIs ini seperti terganggunya libido, akumulasi pada paru-paru dan interaksi dengan Cytocromer P450.

Sekarang ini ditemukan tianeptin antidepresan baru yang mekanisme kerjanya mempercepat reuptake dari serotonin (SSREs). Golongan ini mekanisme kerjanya mempercepat pengembalian kembali serotonin celah sinap. Dengan demikian akan memacu umpan balik aksis HPA dan pada akhirnya meningkatkan serotonin baru pada celah sinap. Disamping itu tianeptin tidak di metabolisme melalui sitokrom P450 dan tidak memberi efek akumulasi pada paru-paru.

VI. PEMILIHAN OBAT ANTI DEPRESAN

TCAS atau trisikilk mempunyai efek samping dan kardiologik yang besar. Oleh karena itu sebaiknya di berikan pada pasien usia muda yang lebih dapat mentolerir efek samping tersebut. Sampai sekarang golongan ini masih banyak dipakai psikiater untuk mengatasi depresi yang disertai agitasi. Tetrasiklik mempunyai efek samping otonomik dan kardiologik yang relatif kecil tetapi memiliki efek sedasi yang kuat. Oleh karena itu obat golongan ini dapat diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan terhadap efek otonomik dan kardiologik atau pasien-pasien usia lanjut dan sindrome depresi dengan disertai anxietas dan insomnia. MAOIs memiliki efek samping hipotensis ortostatik yang relatif sering. Oleh karena itu jika diberikan pada pasien usia lanjut yang sering terbangun pada malam hari, kemungkinanan resiko jatuh yang menyebabkan trauma sangat besar sangat besar demikian juga kemungkinan jatuh pada perubahan posisi tubuh yang mendadak. Pemberian MAOIs sebaiknya dihindari pada usia lanjut.

SSRIs memiliki efek samping sedasi, otonomik dan hipotensi ortostatik yang minimal. Oleh karena itu dapat di anjurkan penggunaannya untuk semua pasien dari semua golongan umur dan untuk bermacam-macam tipe depresi, dapat dikatakan tidak ada kontra indikasi untuk pemberian SSRIs. Disamping itu obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang sehingga pemberiannya cukup sehari sekali.

SSREs (Tioneptine) golongan ini tekah terbukti bebas dari efek samping kolinergik dibanding dengan antidepresan trisiklik lainnya dan bersifat non sedatif karena lemahnya ikatan dengan reseptor alfa adrenergik dan histaminilo. Kesemuanya itu membuat obat golongan ini mempunyai kepatuhan lebih baik. Oleh karena Tianeptin tidak di metabolisme melalui sitokrom P450 sehingga dapat memberikan keamanan yang tinggi bila dikombinasi dengan obat-obatan lainnya dan dapat diberikan pada pasien dengan serosi hepatis ataupun dengan insufisiensi fungsi hepar lainnya.

OBAT-OBATAN ANTI DEPRESAN

Golongan Zat Aktif dan Dosis Anjuran


Trisiklik (TCAs)

  • Amitriptilin 75-150 mg / hari
  • Imipramin 75-150 mg / hari
  • Clomipramin 75-150 mg / hari
  • Amineptin 100- 200 mg / hari
  • Opipramol 50-150 mg / hari


Tetrasiklik

  • Maprotilin 75-150 mg / hari
  • Amoxopin 200-300 mg / hari
  • Mainserin 30-60 mg / hari

Penghambat Mono Amine Okside (MAOIs)

  • Maclobemid 200-600 mg / hari

Selektive Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)

  • Elvatelin 20-40 mg / hari
  • Protetin 20-40 mg / hari
  • Setralin 50-100 mg / hari
  • Fluvotamin 50-100 mg / hari
  • Fluoxetin 10-20 mg/hari


  • Selektive Serotonin Reuptake Enhancer (SSREs) Tianeptine 20-40 mg / hari

VII. TERAPI DEPRESI

Penderita depresi perlu melakukan terapi secara tepat. Hal ini untuk
menghindari konsekuensi bila tidak mencapai kesembuhan. Konsekuensi yang
dimaksud yaitu: kendala psikososial berkepanjangan, memperburuk prognosis,
menambah beban pelayanan medis, meningkatnya risiko bunuh diri dan
penyalahgunaan
zat, serta meningkatnya risiko kekambuhan. Adapun tujuan terapi depresi adalah meningkatkan kualitas hidup, mengurangi atau menghilangkan gejala, mengembalikan peran dan fungsi, mengurangi risiko kekambuhan, serta mengurangi risiko kecacatan atau kematian. Namun, ada faktor yang memengaruhi hasil terapi, yakni pasien, masyarakat, dokter, dan obat. Pada pasien biasanya berupa ketidakpatuhan karena berbagai sebab satunya tidak peduli. Pada masyarakat atau lingkungan adalah karena mitos, kepercayaan, dan stigma. Dokter juga bisa memberi pengaruh yang tidak baik pada
hasil terapi, misalnya jika dokter kurang mengenali gejala depresi.
Sedangkan
pada obat, biasanya menyangkut efektivitas, efek samping, kemudahan, dan harga.
Khusus mengenai obat, penderita depresi sebaiknya menggunakan obat antidepresan yang sesuai dengan kondisi.

Antidepresan pada umumnya diberikan selama hingga 6 bulan. Pada beberapa kasus pasien dan dokternya memutuskan untuk menggunakan antidepresan lebih lama. Pemberian anti depresan pada minggu pertama dan ke dua pengobatan kadang tampak bertambah parah atau tampak memburuk yaitu timbul kecemasan atau bahkan sampai insomnia. Untuk mengatasi hal ini dapat ditambahkan obat golongan benzodiazepin misalnya alprazolam. Bila gejala-gejala psikotik muncul pemberian antipsikotik perlu dipertimbangkan misalnya haloperidol,olonzapine,dll.

-==-TERIMAKASIH-==-

Makalah ini disampaikan pada “Seminar Sehari “Kesehatan Jiwa” RSJD dr RM Soedjarwadi Klaten tanggal 2 Mei 2009