Jumat, 15 Mei 2009

RESTRAIN BUKTI KEGAGALAN TERAPI

By. Ns.Suwanto

Pengekangan Fisik atau restrain atau fiksasi dipandang oleh sebagian tenaga kesehatan (perawat,dokter) sebagai suatu hal yang sudah biasa bahkan sangat umum dalam seting rumah sakit jiwa. Tidak banyak orang yang peduli atau mempertanyakan alasan legalitas dilakukan tindakan tersebut. Padahal restrain dapat berbahaya dan dapat menimbulkan trauma bagi pasien (baik fisik maupun psikologis) selain juga tindakan tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia dan etika. Upaya untuk mengurangi mungkin akan dianggap sebagai suatu hal yang melawan kodrat/kebiasan rumah sakit jiwa. Sehingga legalisasi tindakan restrain seakan bebas dari segala tuntutan dan pada akhirnya upaya perbaikan kurang berkembang.
Secara teori tindakan restrain diindikasikan terhadap pasien dengan perilaku amuk dan membahayakan diri/orang lain, perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan, ancaman integritas fisik yang berkaitan dengan penolakan makan, minum atau istirahat, serta atas permintaan klien untuk mengendalikan perilaku eksternal (Sarka Ade,dkk, 2007). Dengan kata lain restrain dilakukan terhadap klien dalam fase krisis. Sehingga secara sederhana dapat diasumsikan bahwa semakin lama jam rata-rata restrain menunjukkan semakin lama pasien berada pada fase krisis. Semakin lama pasien berada pada fase krisis menandakan pengobatan yang dilakukan tidak efektif, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa tindakan ini dilakukan oleh sebagian tenaga kesehatan bukan atas indikasi yang tepat (terlalu mudah memutuskan untuk dilakukan restrain sebelum dicoba dengan cara yang lain). Charles Churrie (1970) mendeklarasikan bahwa penggunaan restrain dan isolasi merupakan kegagalan treatment dan berencana mengeliminasi penggunaannya (The Journal).
Ide pengurangan restrain bukan hal yang baru. Di Amerika Serikat sejak tahun 1970 penderita gangguan jiwa telah mengkomplain tindakan tersebut, namun belum mendapatkan respon yang cukup. Pengurangan restrain pertama kali dilakukan oleh Commenwealth Pensylvania pada tahun 1990. Selanjutnya berkembang ide-ide pengukuran kualitas restrain. Quality Indicator Project lebih dari 1000 organisasi pelayanan kesehatan di US mengusulkan 99 data indikator dari kualitas pelayanan RS Jiwa. Dari data tersebut 36 berhubungan dengan penggunaan restrain dan isolasi, diantaranya termasuk kejadian restrain, jam restrain, pengulangan penggunaan restrain tanpa sengaja, dan isolasi lebih kurang 1-6 jam. JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations) mengakreditasi standart yang lebih ideal dari pembatasan penggunaan restrain dan isolasi. JCAHO juga memutuskan restrain dan isolasi sebagai petunjuk inti dari kualitas pelayanan pada institusi pelayanan psikiatri.
Institusi yang telah mengurangi restrain
Sejumlah Negara bagian di Amerika Serikat telah mengeliminasi penggunaan restrain dan isolasi. Fasilitas kesehatan mental di Carolina Selatan terjadi pengurangan rata-rata jam isolasi dari 693 per bulan pada tahun 1993 menjadi 21 perbulan pada tahun 2000 dan rata-rata jam bulanan restrain dari 24 pada tahun 1992 menjadi 0,35 pada tahun 2003. Fasilitas yang telah mengurangi isolasi dan restrain di AS telah lebih dari 50%.
Bagaimana dengan RS Jiwa di Indonesia?
Menurut penulis, upaya untuk mengurangi restrain dan isolasi di Indonesia belum terdengar gaungnya. Bahkan upaya-upaya peningkatan kualitas restrain saja belum banyak dibicarakan apalagi diseminarkan. Satu contoh sederhana, berapa persenkan institusi pelayanan psikiatri di Indonesia yang telah mendokumentasi tentang lama restrain, tujuan restrain, tehnik restrain, jumlah ikatan, kejadian-kejadian selama tindakan restrain, dan rata-rata bulanan restrain? Meski tidak ada data pasti namun penulis yakin, sangat sedikit institusi yang telah mendokumentasikan dengan baik. Bagaimana dengan institusi anda? Jika tindakannya saja belum terdokumentasi dengan baik atas dasar apa kita mengatakan bahwa institusi kita telah mengurangi tindakan restrain dan isolasi?
Upaya untuk mengurangi
Tidak mudah untuk mengurangi atau mengeliminasi restrain dan isolasi karena membutuhkan perubahan system dan kebijakan. Metode untuk mengurangi restrain dan isolasi membutuhkan beberapa unsur penting yaitu partisipasi dari penerima pelayanan kesehatan mental, perubahan budaya, analisis data dan treatmen individu yang diperlukan. National Technical Assistance Centre (1999) mengembangkan kurikulum untuk mengurangi restrain dan isolasi yang dikenal dengan 6 strategi pokok yaitu: perubahan kepemimpinan dan organisasi, penggunaan data untuk persetujuan tindakan, pengembangan kekuatan kerja, penggunaan pencegahan restrain dan isolasi, peran konsumen dalam hal ini pasien dan tanya jawab.
Upaya pengurangan restrain sulit terwujud tanpa melibatkan staf. Perawat adalah komponen yang krusial dalam usaha mengurangi restrain dan isolasi. Perawat dapat pula menjadi pimpinan untuk merubah kultur dengan memahami kepribadian pasien. Perawat juga harus memahami budaya atau kultur dengan mentoleransi berbagai macam perilaku.
Melirik pada Negara maju
Komite Hukum di Inggris mengidentifikasi batasan yang cukup jelas mengenai penggunaan restrain yaitu bahwa restrain seharusnya digunakan bukan untuk menghukum namun hanya digunakan untuk mengontrol tingkah laku kekerasan dalam upaya untuk melindungi tenaga kesehatan dan orang-orang disekitarnya. Idealnya penggunaan restrain ini dimonitor oleh suatu badan independen seperti misalnya komisi kesehatan mental yang telah ada di inggris untuk meyakinkan bahwa penggunaan restrain adalah legal dan tepat sesuai dengan kebutuhannya.
Departemen kesehatan di inggris membuat batasan mengenai penggunaan batasan fisik oleh pelayanan kesehatan hanya oleh hal-hal berikut:
  • Ketika cara-cara yang lain telah gagal, bahkan ketika restrain merupakan jalan terakhir, enggunaannya perlu dibicarakan dengan tenaga kesehatan lain dalam satu tim tersebut.
  • Dalam situasi gawat ketika resiko terjadinya bahaya yang ditimbulkan oleh tingkah laku destruktif lebih besar daripada penggunaan restrain tersebut.
  • Digunakan dengan pemaksaan minimal
  • Digunakan untuk waktu seminimal mungkin
  • Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih dan menggunakan teknik yang tepat dan aman.
  • Dilakukan dengan meminimalkan terjadinya kerusakan fisik dan meminimalkan terjadinya penurunan terhadap harga diri klien
  • Dengan melakukan pelaporan secara formal.

Semoga bermanfaat dan memberi alternatif wawasan kita!

3 komentar: